Selasa, 31 Maret 2009

HUKUM PROGRESIF, SOLUSI DITENGAH TRANSISI DEMOKRASI DI INDONESIA

Oleh : Muh Irsyad Thamrin, SH
(Ketua Serikat Pekerja Hukum Progresif (SPHP) dan pekerja bantuan hukum di LBH Yogyakarta)

Runtuhnya Orde Baru yang menganut paradigma hukum yang represif pada tahun 1998 yang digantikan oleh Orde Reformasi, ternyata belum membawa perbaikan terhadap kualitas penegakan hukum. Justru lebih parah lagi dengan banyak bermunculan kasus-kasus pelanggaran HAM, korupsi yang semakin mewabah, dan munculnya beragam peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak mencerminkan kepentingan masyarakat. Sebut saja lahirnya Perpres 36 tahun 2005 tentang Pengadaan tanah untuk kepentingan umum, yang berpotensi menjadi legitimasi pemerintah untuk melakukan penggusuran, UU No 13 tentang ketenagakerjaan dan UU PPHI, yang banyak melahirkan penolakan dari kalangan buruh karena dinilai lebih berpihak kepada pemilik modal, dan lain sebagainya.

Di pihak lain penegakan hukum terhadap kasus-kasus besar seperti kasus korupsi akbar tanjung, kasus pencemaran nama baik oleh majalah Tempo, kasus-kasus konflik agraria, sengketa perburuhan dan lain-lain masih sangat jauh dari rasa keadilan. Hal ini mencerminkan bahawa perilaku-perilaku para aktor dunia peradilan yang masih belum bisa bersikap adil, bahkan less authoritativeness ketika menghadapi pihak yang memiliki relasi dengan kekuasaan di satu pihak dan more authoritativeness ketika berhadapan dengan masyarakat kecil.

Hal ini menyebabkan kerisauan dan sikap apriori terhadap “orde hukum” yang belum mampu menjawab dan menjelaskan berbagai problem ketidakadilan. Realitas itu menandai supremasi hukum dan persamaan di hadapan hukum (equality before the law) ibarat masih menjadi impian bagi rakyat. Peradilan yang independen dan tidak memihak (fair tribunal and independence of judiciary) sebagai salah satu prasyarat bagi suatu negara hukum (rule of law) hanya menjadi jargon di dalam ruang kuliah ataupun diskusi. Di pihak lain, sebagai dampak dari globalisasi, Advokat/Pengacara yang sering disebut sebagai “profesi mulia” (officum nobile) karena profesi ini tidak hanya sekedar mencari nafkah saja melainkan didalamnya terdapat idealisme (nilai keadilan/kebenaran) mulai terpuruk dan beralih sebagai penjual jasa hukum kepada yang memiliki modal.

Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, maka salah satu penyebab bobroknya sistem hukum ini adalah masih dianutnya paradigma hukum yang liberal oleh sebagian besar aparat hukum/profesi hukum dengan berlindung pada bunyi undang undang (positivistis), sehingga membentuk kesadaran hukum yang formalisistis. Sehingga kesadaran hukum yang formalistis inilah yang selama ini telah menjebak kita pada kepuasan terdistribusinya keadilan formal, kendati harus menyingkirkan, bahkan bertentangan dengan keadilan substansial. Padahal kolusi yang terjadi dalam proses-proses bekerjanya hukum nyaris selalu dibingkai dalam proses-proses hukum yang formalistis. Sehingga, kolusi atau “jual-beli keadilan” sangat sulit dibuktikan, kendati praktik-praktik kotor itu nyata-nyata terjadi. Hal ini tercermin dalam dimenangkannya kasasi Akbar Tanjung dalam kasus korupsi, yang jelas-jelas melukai rasa keadilan di dalam masyarakat, beberapa inteleketual hukum hanya mengatakan “bahwa apa daya hukum formil harus ditegakkan”.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka sebenarnya membuktikan bahwa hukum modern (baca : hukum barat) yang membawa paradigma liberal yang dijargonkan merupakan system hukum paling maju ternyata tidak sesuai dengan kenyataan dalam masyarakat Indonesia dimana sebagian besar masyarakat Indonesia justru termarginalkan hak-hak ekosobnya (hak ekonomi, social budaya). Kita ketahui hukum modern ini memang bukan berasal dari dalam masyarakat Indonesia, melainkan ditanamkan dari luar yang merupakan produk social, ekonomi dan kultur barat. Atau dengan kata lain hukum modern yang bertipe liberal merupakan cerminan dari basis struktur ekonomi kapitalis. Hukum liberal pada prinsipnya dibuat untuk menjadi instrumen pengaman kelangsungan tatanan social-politik dan ekonomi masyarakat liberal (baca : kapitalis), yang menempatkan kebebasan individu sebagai nilai yang prinsipil. Hal ini sesuai dengan analisis Karl Marx menggunakan pendekatan kesejarahan dari sudut pandang ekonomi (materialisme historis), dimana hukum tidak lebih dari sebuah instrumen untuk melindungi dan menjamin kepentingan kelas yang berkuasa (kapitalis) di satu pihak, dan memeras serta menindas kelas pekerja (proletar) di pihak lain.

Untuk itu lahirnya hukum progresif merupakan antitesis dari realitas hukum saat ini, dimana diperlukan keberanian dan komitmen untuk melakukan pembangunan orde hukum yang responsif (termasuk meningkatkan kualitas penegakan hukum) dengan melakukan perbaikan di berbagai sektor hukum, baik itu dari segi sistem hukumnya sendiri, aparatur penegak hukum, maupun segi pendidikan/kurikulum hukum . Menurut Sacipto Rahardjo, system liberal melihat bahwa konsep kesamaan (equality) didasarkan kepada individu sebagai unit (individual equality), maka hukum progresif adalah kebalikan dari system hukum liberal, dimana hukum progresif menawarkan konsep kesamaan didasarkan kepada kolektiva atau kebersamaan (group-related equality). Dengan kata lain hukum progresif bertujuan untuk menggunakan hukum bagi kepentingan rakyat di atas kepentingan individu. Di dalam pandangan hukum progresif hukum dilihat sebagai instrumen untuk melayani kepentingan rakyat, maka apabila rakyat menghadapi persoalan hukum yang berdimensi structural, bukan rakyat yang dipersalahkan, melainkan kita harus mengkaji asas, doktrin ataupun peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Di era transisi ini banyak melahirkan masalah-masalah dan problem social sehingga angka kejahatan maupun konflik tumbuh dengan cepat dalam masyarakat. Belum lagi sengketa-sengketa kepentingan antar individu atau kelompok, ataupun masyarakat dengan Negara/pemodal. Lantas bagaimana perspektif hukum progresif harus mengatasinya ditengah teori-teori hukum (baca hukum liberal) yang cukup njlimet ini. Dalam pandangan Hukum progresif secara sederhana dapat diuraikan bahawa apabila suatu hukum/peraturan justru tidak menguntungkan kolektiv didalam masyarakat, maka hukum tersebut harus diterabas atau dengan kata lain hukum tersebut harus segera dilakukan perubahan baik dari segi asas, doktrin maupun aturannya, sedangkan apabila hukum tersebut menguntungkan sebagian besar mayoritas masyarakat, maka hukum tersebut dipakai sebagai legitimasi untuk menegakkan hak-hak dan kedaulatan masyarakat tersebut.

Barangkali dibenak para pembaca muncul pertanyaan apakah relevan hukum progresif ini diterapkan ? Adakah teori-teori hukumnya yang spesifik (atau hanya jargon belaka)? Tentunya dari pertanyaan ini akan melahirkan perdebatan yang sengit di antara para pemikir-pemikir/intelektual hukum. Namun bagi para pekerja hukum yang sehari-harinya selalu bersentuhan dengan masyarakat marginal cukup menjelaskan bahwa hukum progresif adalah kunci pembebasan, dimana hukum progresif menolak klaim para inteleketual liberal yang merasa hanya dirinya yang memiliki otoritas membuat teori-teori hukum/doktrin dimana masyarakat dipaksa dimasukkan dalam skema teori hukum yang berlaku, sehingga hukum haruslah mutlak dilaksanakan, walaupun mengindahkan rasa keadilan dalam masyarakat. Hukum progresif berpendapat bahwa setiap pikiran, pendapat, doktrin, asas hukum sangat terbuka untuk ditinjau, untuk itu setiap pekerja hukum juga merupakan seorang intelektual hukum progresif, yang harus menteorikan segala sesuatu yang menjadi polemik hukum dalam masyarakat menjadi sesuatu yang mudah dicerna dan diaplikasikan.

Namun sekelumit dari uraian tersebut di atas, bertitik tolak dari belum beralihnya orde hukum yang dianut Negara ke arah responsive, hanya ada satu pertanyaan yang muncul dibenak penulis, yakni “apakah kita mau dan berani mengaktualisasikan diri kita dengan menggunakan paradigma hukum progresif untuk melakukan pembebasan di tengah penindasan dan diskriminasi antar sesama manusia ?”

selengkapnya

Bantuan Hukum Struktural

Bantuan hukum pada hakekatnya adalah segala upaya pemberian bantuan hukum dan pelayanan hukum pada masyarakat, agar mereka memperoleh dan menikmati semua haknya yang diberikan oleh negara dan bantuan hukum menjadi hak dari orang miskin yang dapat diperoleh tanpa bayaran (Pro Bono Publico) sebaga penjabaran persamaan hak di hadapan hukum.
Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 34 UUD 1945 dimana didalamnya ditegaskan bahwa fakir miskin adalah menjadi tanggung jawab negara. Terlebih lagi prinsip persamaan di hadapan hukum (Equality before the law) adalah hak asasi manusia yang perlu dijamin dalam rangka tercapainya pengentasan masyarakat Indonesia dari kemiskinan, khususnya dalam bidang hukum.

Bantuan Hukum itu sifatnya membela kepentingan masyarakat terlepas dari latar belakang, asal usul, keturunan, warna kulit, ideologi, keyakinan politik, kaya, miskin, dan agama. .Konsep Bantuan Hukum Struktural dicetuskan sebagai konsekwensi cara memandang dan memahami akan hukum dalam pola hubungan sosial yang tidak adil tersebut. Dan oleh karena itu hukum yang sering didambakan dalam masyarakat bahkan sering mengecewakan masyarakat itu sendiri.

Berdasarkan hal tersebut maka sebagai antitesisnya banyak bermunculan Lembaga Bantuan Hukum, baik itu dibawah YLBHI, Universitas maupun Lembaga lembaga nirlaba lainnya. YLBHI sendiri yang menaungi LBH-LBH yang tersebar di daerah-daerah (Propinsi) tidak membatasi diri pada kegiatan bantuan hukum individual saja, tetapi memberikan pelayanan bantuan hukum struktural yaitu bantuan hukum terhadap struktur bawah yang miskin dan buta hukum karena tujuan negara Indonesia selain mencerdaskan kehidupan bangsa tapi juga mewujudkan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia serta bertujuan mengubah ketidakadilan struktural ke arah keadilan struktural.

Konsep Bantuan Hukum Sturktural atau BHS yang selama ini diterapkan dan menjadi idiologi LBH dan telah melahirkan pemikiran dan gerakan dalam dunia hukum di Indonesia secara revolusioner sekaligus memperkaya wacana dalam teknologi hukum kita.

Konsep BHS
Bahwa persoalan Hukum, Hak Azasi Manusia (HAM) dan Demokratisasi merupakan merupakan sebuah sistem yang saling terkait satu dengan yang lain. Dari ketiga isu sentral tersebut maka YLBHI/LBH senantiasa melakukan penajaman masalah dengan memposisikan perannya sebagai berikut Sehingga LBH memandang persoalan penegakan Hukum, HAM dan Demokratisasi perlu dikongkritkan dengan memberikan batasan sistem kekuasaan negara yang cenderung menjadi Otoritarian. Bermuara pada lahirnya sikap negara yang tidak menghormati nilai-nilai demokratisasi.

Maka, dapat dilihat pada rezim Orde Baru betapa sistem Hukum amat tidak berdaya bahkan justru seringkali hukum hanya sebatas menjadi alat penyiksa bukan sebagai alat Penghukum. Terjadi disorientasi sistem pemerintahan yang berimplikasi pada lemahnya seluruh aspek pembangunan termasuk aspek hukum. Sebab pendekatan negara selalu diarahkan pada pola-pola kekerasan secara struktural. Mengindikasikan bahwa negara tidak mampu memahami persoalan dalam perspektif keadilan bagi rakyatnya, maka yang terjadi adalah lahirnya resistensi rakyat terhadap penerapan sistem tersebut. Pola ini pula mempertegas komitmen LBH bahwa dalam kerangka pemihakan terhadap rakyat miskin dan tertindas, maka peran aktivis YLBHI sebagai critical intermediary dilakukan dalam konteks hubungan antara rakyat dan negara, rakyat dan pemodal / pasar, serta antara kelompok masyarakat. Level pertarungan ini jelas merupakan imbas dari polirisasi sistem politik yang selalu berubah-ubah.

Sebagaimana visi dan misi LBH, peran-peran tersebut dirumuskan dalam 3 peran utama, yakni :
(1) Mempengaruhi kebijakan publik yang menentukan terjaminnya hak-hak ekonomi, sosial , budaya dan hak sipil dan politik. Prasyarat yang mutlak adalah meningkatkan kemampuan dan kepedulian kontrol sosial bagi kekuatan-kekuatan organisasi masyarakat sipil untuk mendorong lahirnya kebijakan publik yang berpihak kepada hak ekonomi, sosial, budaya, dan sipol, baik ditingkat nasional maupun internasional,

(2) Memainkan peran bersama-sama masyarakat sipil dalam menentukan arah transisi politik dengan mendasarkan pada prinsip-prinsip demokrasi, HAM, dan keadilan Gender. Menentukan arah transisi politik berarti memprakarsai dan memanfaatkan ruang publik atas dasar kepentingan masyarakat sipil, dan (3) Memfasilitasi tumbuh dan berkembangnya gerakan rakyat, hal ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan posisi tawar dalam sistem politik makro.

Disamping peran strategis YLBHI tersebut, maka salah satu konsep yang hingga kini masih menjadi konsep yang amat penting bagi setiap kader LBH adalah Konsep Bantuan Hukum Struktural (BHS).

BHS adalah konsep menggunakan hukum sebagai jalan masuk guna mendesakkan perubahan mendasar di sektor lain dengan memperkuat hukum sebagai realitas sosial dan politik. Namun pada mulanya LBH hanya tidak lebih dari sebuah charity yang memberikan bantuan hukum kepada masyarakat kecil sehingga menciptakan pola patronase (ketergantungan) kepada klien. Dan tidak mempunyai pengaruh yang cukup mendasar dalam rangka menuntaskan permasalahan kemiskinan.

Dari pengalaman tersebut, LBH ternyata memandang persoalan dasar dari kemiskinan itu disebabkan oleh sistem. Dengan demikian LBH melihat dirinya di dalam “belantara” pradigma perubahan sosial, posisi dan perannya didalam menegakkan masyarakat sipil vis-a-vis negara, dan berperan sebagai wahana untuk memperkuat dan memberdayakan masyarakat sipil. Jadi mau atau tidak LBH berada dalam faksi transformasi struktural untuk melakukan perubahan yang bersifat struktural dengan secara sadar mengambil risiko dan mengelola konflik. Dari gambaran diatas jelas bahwa LBH berkembang dan terlibat dalam bantuan hukum struktural di mana tidak hanya bersifat hukum, tetapi juga sosial, politis, ekonomis dan kultural.

selengkapnya

Kamis, 05 Februari 2009

Tunjangan Profesi Guru Palu Dipotong Rp 1,6 Miliar

PALU, - Kejati Sulteng saat ini masih mendalami kasus pemotongan tunjangan profesi guru di Kota Palu yang jumlahnya mencapai Rp 1,6 miliar.
Jumlah tersebut merupakan akumulasi potongan dari tenaga pengajar yang berjumlah 4.096 orang sejak 2007 silam. Uang tunjangan setiap pengajar dipotong sebesar Rp 400.000.



Asisten Intelijen Kejati Sulteng DI Somba di Palu, Rabu, mengatakan pihaknya masih mengumpulkan informasi kasus tersebut. Somba juga telah mendatangi bagian keuangan Pemkot Palu dan Dinas Pendidikan dan Pengajaran setempat untuk meminta keterangan.

"Kami harus mengumpulkan keterangan awal untuk bisa mengungkap kasus ini," katanya.

Sebelumnya, kasus tersebut terungkap berkat adanya keterangan dari beberapa guru yang mengaku tunjangannya dipotong sebesar Rp 400.000. Tunjangan profesi yang setiap bulannya sebesar Rp 100.000 itu dibayarkan secara rapel pada akhir tahun sebesar Rp 1,2 juta.

Namun, uang tunjangan tersebut hanya dibayarkan Rp 800.000 dengan alasan dananya belum turun semua, dan akan dibayarkan pada tahun anggaran selanjutnya. "Tapi sampai sekarang kami belum mendapatkan uang sisa tunjangan yang belum terbayarkan tersebut," kata seorang guru yang minta identitasnya dirahasiakan.

Dia juga menuturkan, semua teman seprofesinya mengalami hal serupa, tapi enggan bertanya lebih lanjut ke atasannya dengan alasan takut menerima sanksi. Tunjangan profesi guru tersebut adalah sesuai Peraturan Presiden No. 108 Tahun 2007 tentang Tunjangan Profesi Guru yang berasal dari APBN..

Jumlah tersebut merupakan akumulasi potongan dari tenaga pengajar yang berjumlah 4.096 orang sejak 2007 silam. Uang tunjangan setiap pengajar dipotong sebesar Rp 400.000.

Asisten Intelijen Kejati Sulteng DI Somba di Palu, Rabu, mengatakan pihaknya masih mengumpulkan informasi kasus tersebut. Somba juga telah mendatangi bagian keuangan Pemkot Palu dan Dinas Pendidikan dan Pengajaran setempat untuk meminta keterangan.

"Kami harus mengumpulkan keterangan awal untuk bisa mengungkap kasus ini," katanya.

Sebelumnya, kasus tersebut terungkap berkat adanya keterangan dari beberapa guru yang mengaku tunjangannya dipotong sebesar Rp 400.000. Tunjangan profesi yang setiap bulannya sebesar Rp 100.000 itu dibayarkan secara rapel pada akhir tahun sebesar Rp 1,2 juta.

Namun, uang tunjangan tersebut hanya dibayarkan Rp 800.000 dengan alasan dananya belum turun semua, dan akan dibayarkan pada tahun anggaran selanjutnya. "Tapi sampai sekarang kami belum mendapatkan uang sisa tunjangan yang belum terbayarkan tersebut," kata seorang guru yang minta identitasnya dirahasiakan.

Dia juga menuturkan, semua teman seprofesinya mengalami hal serupa, tapi enggan bertanya lebih lanjut ke atasannya dengan alasan takut menerima sanksi. Tunjangan profesi guru tersebut adalah sesuai Peraturan Presiden No. 108 Tahun 2007 tentang Tunjangan Profesi Guru yang berasal dari APBN.

Sumber : http://regional.kompas.com

selengkapnya

Rabu, 21 Januari 2009

Penghalang Pembentukan Serikat Buruh; Pengusaha Terancam Pidana dan Denda

Oleh : Ruslan Husen

Palu, Pengusaha yang menghalang-halangi atau tidak mengizinkan pembentukan serikat buruh dalam perusahaannya, dapat di pidana penjara paling rendah 1 tahun dan maksimal 5 tahun dan denda Rp.100 juta –Rp.500 juta. Hal itu diungkapkan oleh Atong, SH Kepala Seksi Pengupahan Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Nakertras Sulteng) pada dialong interaktif RRI Palu Rabu (21/1). “Ancaman tersebut sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 43 UU No.12 tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/ Serikat Buruh”. Kata Atong, SH.
Dalam dialog interaktif itu, dengan tema “Pembentukan Serikat Buruh” dan merupakan kerja sama LBH Sulteng dengan LPP RRI Palu menghadirkan narasumber selain dari Nakertras Sulteng juga narasumber dari Serikat Buruh Sulteng Fadlan, dan Badan Pekerja LBH Sulteng Ruslan, SH.


Dalam pemaparannya Fadlan, menekankan bahwa pembentukan serikat buruh adalah hak dari buruh, disamping hak lain semisal mendapatkan upah sesuai dengan UMP, mendapatkan jaminan sosial dan tidak diperlakukan diskriminatif. “Buruh harus berani menuntut apa yang menjadi hak normatifnya, jangan takut. Jika buruh bersatu, maka hak-hak buruh tersebut dapat dinikmati”. Lanjut Fadlan.

Sementara Ruslan, SH, mengkritisi soal ketegasan Nakertras selaku pengawas perusahaan dalam menindak perusahaan yang melarang pembentukan serikat pekerja, termasuk menindak perusahaan yang memberlakukan upah dibawah UMP terhadap buruhnya. “Kita berharap ada ketegasan dari Nakertras selaku dinas terkait dalam menindak pihak perusahaan yang melanggar UU ketenagakerjaan ataupun UU Serikat Buruh. Jangan lagi ada “permainan” antara pengusaha dengan Nakertrans”. Kata Ruslan.

selengkapnya

Selasa, 20 Januari 2009

FPR DESAK TINJAU TAPAL BATAS TAMAN NASIONAL

Demo di BTNLL, Minta 9 Warga Lindu Dibebaskan

Palu, Front Perjuangan Rakyat (FPR) berdemonstrasi di Kantor Balai Taman Nasional Lore Lindu (BTNLL), jalan Moh Yamin Palu, Kamis (14/8). Mereka mendesak pejabat di instansi tersebut untuk meninjau kembali dengan cermat kebijakan yang berkaitan dengan tapal batas kawasan hutan lindung (HL). FPR juga mendesak BTNLL untuk membebaskan sembilan warga lindu yang disebut-sebut merambah dan menjual lahan disekitar hutan lindung.
Kuasa Ratalembah, salah seorang pendemo menegaskan BTNLL gagal mengelola TNLL dan tidak berhasil menyehterakan rakyat disekitar taman nasional. Padahal, instansi tersebut mendapat kucuran anggaran yang sangat besar untuk membiayai program di taman nasional. Sayangnya program-program tersebut gagal. Bahkan dananya diduga kuat disalahgunakan oleh oknum-oknum tertentu. Kuasa juga, menyoroti tidak adanya kejelasan tentang zonasi TNLL.


FPR yang beranggotakan Aliansi Gerakan Reforma Agraria (AGRA), Serikat Tani Donggala, Front Mahasiswa Nasional, Serikat Pekerja Hukum Progresif (SPHP), Relawan untuk orang dan Alam, Persatuan Evegreen Indonesia, Walhi dan LBH) Sulteng mendesak pemerintah dan BTNLL untuk menghentikan distribusi pupuk melalui tengkulak. FPR juga meminta BTNLL mengakui keberadaan masyarakat di kawasan TNLL, menghentikan kekerasan dan kriminaslisasi kepada kaum tani yang melakukan perjuangan atas haknya. FPR juga mendesak pemerintah dan BTNLL untuk membebaskan dua orang petani Sibalaya, dan petani Watumaeta yang saat ini ditahan.

Di tempat yang sama ketua SPHP Sulteng, Agus Salim Faisal Said menegaskan, kasus intimidasi, kriminalisasi dan kekerasan lainnya yang dialami masyarakat lindu, merupakan rangkaian dari politik konservasi. Konsep politik ini mengusung isu lingkungan. “jadi, sembilan warga desa Tomado yang diklain melakukan perambahan hutan dan menjual lahan di sekitar TNLL merupakan kasus yang tidak berdiri sendiri. Ini bagian dari skenario global untuk mencaplok tanah adat rakyat untuk kepentingan pemodal,” tegas agus.

Skenario global ini, urai Agus, dijalankan Direktorat Pelestarian Konservasi dan Perlindungan Hutan (PKPH) Departemen Kehutanan RI dan Balai Taman Nasional di Seluruh Indonesia dengan secara sepihak menghegemoni hak kuasa kelolal rakyat atas sumber-sumber penghidupannya di kawasan hutan. Dia mencontohkan, kasus di taman nasional komodo, lauser dan wakatobi, kasus-kasus ini tercatat di Komnas HAM sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pelanggaran ekonomi, sosial dan budaya (Ekosob) yang telah diatur dalam TAP MPR IX tahun 1999. “Jika dikaji lebih dalam, BTNLL sebetulnya telah melanggar karena telah melakukan upaya kriminalisasi rakyat yang mengelola lahan sebagai sumber penghidupannya, tegas Agus.

Agus menjelaskan, hingga saat ini zonasi dan tapal batas TNLL adalah masalah yang tidak pernah tuntas diselesaikan, baik oleh BTNLL maupun instansi lainnya. “TNLL adalah satu-satunya taman Nasional di Indonesia yang tidak memiliki zonasi dan tapal batas yang tegas dan jelas. Lingkar cincin yang akan dicapai pihak pendukung TNLL, khususnya BTNLL telah gagal. Sepanjang tapal batas di 46 desa di dua Kabupaten ini, semuanya bermasalah dengan lokasi pemukiman petani. Kedudukan zona inti seperti di dataran Puro Lanko, Tomado, dan Anca merupakan bukti bagaimana BTNLL masih menyimpan upaya tersembunyi penyingkiran rakyat di daerah itu,” tegasnya lagi.

Untuk menyelesaikan masalah tersebut. Agus mendesak Pemkab Donggala dan Provinsi Sulawesi Tenga segera mengambil langkah konkret untuk merespon masalah yang dihadapi petani di kawasan Lindu. “saya minta para politisi di DPRD jangan hanya sibuk mengurus administrasi pencalegan, dan membangun politik pencitraan agar dipilih rakyat. Tetapi juga harus menyelesaikan masalah yang dihadapi rakyat,” tegas agus.

“saya menyerukan kepada masyarakat Lindu, untuk tidak memilih kembali anggota DPRD yang saat ini terbukti tidak menyelesaikan masalah rakyat di daerah itu,” pungkasnya.

Terkait dugaan kasus perambahan hutan dan jual beli lahan disekiar kawasan TNLL, Kepada Budang Teknis Balai Nasional Taman Nasional Lore Lindu, Ir Agustinus Rante Lembang mengakui, sembilan warga desa Tomado diproses penyidik BTNLL. Berkas kasus satu diantara warga itu sudah ditangan Polda Sulteng. Sedangkan delpan warga lainnya masih sementara diproses.

Ditanya penyebab sehingga penyelesaian masalah tersebut tidak diselesaikan berdasarkan kerarifan lokal masyarakat Lindu. Agustinus pesimis masalah tersebut bisa diselesaikan melalui lembaga adat.. maslahnya kata agustinus sangat kompleks. Karena sudah berkaitan dengan jual beli lahan. Dia juga mengaku, Lembaga Konservasi desa (LKD) sulit menyelesaikan masalah tersebut.

Kata agustinus, warga tidak bisa serta merta membuka, membuka, menjual atau mengelola lahan disekitar taman nasional, walau tanah tersebut mereka bayar pajaknya (PBB). Hal tersebut disampaikan Agustinus menjawab perntanyaan Radar Sulteng tentang status Kepemilikan 45 hektar lahan yang selama 20 tahun terakhir PBB-nya dibayar warga, yang disebut-sebut merambah hutan dan menjual lahan di kawasan hutan lindung itu.

Menyinggung adanya peraturan daerah yang bahwa penyelesaian masalah di Kecamatan Lindu, baik menyangkut masalah pengelolaan sumber daya alam maupun masalah sosial lainnya harus diselesaikan melalui dewan adat, Agustinus menjelaskan, pihaknya melaksanakan tugas di TNLL dipayungi Undang-undang. (bil)

Sumber : Radar Sulteng, Jum’at 15 Agustus 2008 Selasa, 2008 Agustus 19.

selengkapnya

Eksploitasi SDA Berlebihan Penyebab Pemanasan Global

Aktifitas eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan yang dilakukan sejumlah perusahaan besar menjadi faktor utama penyebab terjadinya pemanasan global (global warming). Tidak bisa tidak.

Sejumlah organisasi non pemerintah (Ornop) di Sulawesi Tengah yang menggelar aksi pada Sabtu (8/12) sekitar pukul 19.30 Wita di seputaran Tugu Hasanudin Palu, menuding aktifitas eksploitasi sumber daya alam secara berlebihan yang dilakukan sejumlah perusahaan besar menjadi faktor utama penyebab terjadinya pemanasan global (global warming).


Gabungan LSM yang konsern terhadap lisu lingkungan hidup itu terdiri dari Walhi Sulteng, YMP, YTM, Jatam Sulteng, YPR, YBPLB, KPPA, YAMMI, PRMST, LBH Sulteng, YDI,YSM dan PEI, dalam aksi yang berlangsung aman tersebut mereka membagi-bagikan selebaran kepada warga kota Palu yang melintasi kawasan tersebut.
Dalam aksinya tersebut koalisi LSM ini menyoroti masalah pemanasan global, yang saat ini tengah mengancam kehidupan umat manusia, menurut pengunjuk rasa pemanasan global yang tengah terjadi saat ini akibat degradasi lingkungan yang dilakukan oleh para pemilik modal, penebangan dan konversi hutan, aktifitas pertambangan serta penggunaan bahan bakar fosil (minyak bumi, batubara, dan gas)secara berlebihan merupakan penyebab utama terjadinya efek rumah kaca.

Dalam orasi yang dilakukan secara bergantian, pengunjuk rasa selain membeberkan fakta kerusakan lingkungan di Sulteng termasuk penyebabnya juga banyak menyoroti aspek kebijakan pemerintah yang dinilai hanya mengutamakan kepentingan modal dan investasi, tanpa mempertimbangkan aspek keberlanjutan lingkungan dan kehidupan masyarakat, akibatnya bukan hanya kerusakan lingkungan namun juga terjadi proses pemiskinan rakyat secara massif.

Kordinator aksi Samsul bahri menyoroti (kerusakan hutan) di Indonesia termasuk di Sulteng sudah berada pada taraf yang mengkhawatirkan, karenanya mereka mendesak kepada pemerintah agar segera mengambil langkah-langkah serius guna menyelamatkan kondisi lingkungan hidup. Selain itu aktifis Walhi Sulteng ini juga mengharapkan pertemuan KTT iklim yang sedang berlangsung di Bali agar benar-benar memperjuangkan agenda penyelamatan lingkungan dengan mengedepankan keadilan hubungan antar negara maju dan berkembang.

Sumber : http://satudunia.oneworld.net

selengkapnya

Tolak Relokasi;Petani Dongi-Dongi Mengadu ke LBH Sulteng

Palu - Petani Dongi-Dongi, Sulawesi Tengah, yang menggarap lahan di sekitar Taman Nasional Lore Lindu, mengadukan ancaman relokasi oleh pemerintah setempat ke Lembaga Bantuan Hukum Sulteng.

Frans Rumpalaba, Sekretaris Forum Petani Merdeka (FPM) yang mewakili warga Dongi-Dongi, menyatakan menolak upaya pemerintah Sulteng merelokasi 1.030 kepala keluarga yang menggarap lahan pertanian di kawasan Taman Nasional Lore Lindu. Para petani menyatakan tekad memilih mati terhormat mempertahankan tanahnya daripada menyerah dan direlokasi ke tempat baru.


"Kami sudah olah tanah dan menanaminya. Bahkan sudah menghasilkan berbagai komoditi yang selama ini menjadi tumpuan hidup kami. Kami tidak rela meninggalkan mata pencaharian kami," kata Frans Rumpalaba, Kamis (5/7).

Menurut Frans, pemerintah seharusnya mendukung para petani, bukan malah mengusir mereka dari tanah yang menjadi sumber penghidupan dan mata pencaharian.

menerima laporan itu, Agus Faisal dari LBH Sulteng menyatakan mendukung perjuangan para petani mempertahankan hak mereka. Dia menilai Taman Nasional Lore Lindu merupakan perwujudan kolonialisme baru. "Masyarakat di Taman Nasional Lore Lindu kini tidak bisa (lagi) mengelola tanah mereka secara merdeka," katanya. (E1)

Sumber : http://www.vhrmedia.com 5 Juli 2007 - 16:21 WIB

selengkapnya

Kamis, 15 Januari 2009

Penggusuran; Keganasan Negara

Oleh : Ruslan Husen

Penggusuran penduduk merupakan
proses yang mengacaukan dan menyakitkan (M. Cernea)
Masalah penggusuran seolah tidak pernah lepas di negara ini, salah satu contohnya penggusuran di Batam-Kepri yang terjadi 8 agustus 2007. Aliran gelombang protes terus berlangsung dari rakyat setempat yang rumahnya kena gusuran. Lembaga-lembaga swadaya masyarakat juga ikut mengadvokasi masyarakat, untuk membatalkan penggusuran itu. Namun, ketika pemerintah daerah setempat, yang “mewakili” negara, menegaskan bahwa tidak satupun dari penduduk itu yang memiliki sertifikat hak pemilikan atas tanah yang merupakan tempat bermukimnya. Sehingga negara berhak menentukannya peruntukannya. Walaupun pemerintah tetap memberikan ganti rugi secukupnya kepada warga korban penggusuran.


Tempat tinggal merupakan kebutuhan manusia berdasarkan kodratnya sebagai manusia. Seseorang hanya terjamin kehidupan keluarganya, milik dasarnya, kenyamanan dasar dan kesehatannya, serta kemantapan dasar kehidupan sosial, profesional dan politiknya, apabila ia mempunyai tempat tinggal atau perumahan. Oleh sebab itu mengusir orang dari tempat tinggalnya, ditambah lagi tindakan-tindakan yang dilakukan dalam aksi itu merupakan tindakan kebiadaban yang luar biasa dan tidak berprikemanusiaan.

Suatu negara yang punya kemuliaan dan harga diri akan merasa malu melakukan penggusuran itu, tanpa ada pertanggung jawaban yang rasional, dan apabila dilakukan juga masyarakat akan protes, kecuali ada kediktatoran yang dapat mengancam warga agar tidak banyak bicara. Penggusuran jenis ini biasanya karena ada kepentingan pengusaha yang menginginkan lahan itu sebagai tempat usahanya.

Jika penggusuran dilakukan atas pertimbangan dasar keberpihakan kepada pihak bermodal dengan mengenyampingkan kepentingan fakir miskin maka sungguh ini adalah bentuk kezaliman yang nyata. Bukankah fakir miskin itu menempati tempat tinggal itu karena lahan itu tidak dikelola alias telah ditelantarkan dan tidak diperhatikan lagi, namun ketika kondisi lahan itu kembali dianggap produktif maka seketika itu juga warga fakir miskin itu segera saja diusir dari tempat tinggalnya.

Kalau pendiri negara telah menetapkan dalam pasal 34 UUD 1945 bahwa “fakir miskin dan anak-anak yang terlantar dipelihara oleh negara”. Namun, yang terjadi malah, orang-orang miskin dan anak terlantar yang dengan susah payah hidup, tanpa, membebani negara dan masyarakat, membangun tempat tinggalnya lantas di buang ke jalan, di hancurkan tempat tinggalnya, dibiarkan hidup terlunta-lunta seolah-olah ia tidak memiliki hak di negara ini. Pasal dalam konstitusi negara ini akhirnya hanya mulia pada tataran konsepsi konstitusi negara sementara realitasnya terjadi perselingkuhan yang telah memakan korban yang tidak sedikit.

Penggusuran tempat tinggal terhadap warga fakir miskin tanpa memperhatikan perbaikan kondisi kehidupan mereka merupakan tindakan yang tidak berprikemanusiaan dan melanggar konstitusi negara. Sebab negara atau penyelenggara negara berkewajiban memperhatikan untuk memperbaiki kondisi kehidupan orang-orang fakir miskin, dengan mengeluarkan kebijakan yang dapat meningkatkan taraf hidup dengan mengutamakannya disamping kepentingan pihak bermodal.

Hak Kepemilikan Positif
Tempat tinggal penduduk di banyak negara, apabila telah ditempati selama waktu tertentu, maka penduduk tersebut mempunyai hak hukum positif untuk tidak diusir begitu saja, bahkan pengontrak tempat tinggal sendiri dilindungi terhadap penggusuran oleh pemilik. Sebab atas tempat tinggal, diakui sebagai tuntutan kemanusiaan yang paling dasar yang wajib dilindungi oleh hukum positif. Artinya, hukum itu sebagai sarana untuk kemanusiaan pergaulan antar warga masyarakat yang bersangkutan wajib menjamin dan melindungi hak atas setiap warganya atas tempat tinggalnya.

Dalam hukum positif Indonesia yang berlaku secara umum berhubungan dengan tempat tinggal yaitu terjadi pemilikan tidak mutlak jika lahan potensial ditinggalkan terlantar oleh pemiliknya tanpa dikelola selama dua tahun berturut-turut. Sehingga peruntukan lahan potensial bukan hanya untuk individu saja tetapi berkonotasi sosial, digunakan sepenuhnya untuk kepentingan umum. Sebab itu syarat kecocokan sosial lantas membawa implikasi pada hak asasi kepemilikan tempat tinggal yang akan mengalahkan kepemilikan pribadi yang abstrak dan tidak nyata itu.

Begitu pula dengan seseorang yang membangun tempat tinggal di atas lahan yang bukan miliknya dan proses tempat tinggal itu dibiarkan saja tanpa keberatan dari sang pemiliknya selama dua tahun berturut-turut atau lebih, maka hak asasinya atas tempat tinggal itu menjadi wajib untuk dilindungi secara hukum. Ia tidak boleh lagi digusur kecuali ada alternatif penyelesaian secara damai misalnya penyediaan tempat bermukim yang baru.

Demikian juga, apabila tanah yang di duduki orang miskin merupakan milik negara, milik pemerintah daerah, milik badan hukum negara dengan tujuan kepentingan umum, maka negara atau pemerintah wajib untuk mendahulukan kepentingan fakir miskin terhadap sebuah usaha komersialisasi dari pihak pengusaha/ pemilik modal.

Ini merupakan nilai-nilai yang ada pada kepemilikan positif terhadap tanah yang semestinya diperhatikan oleh negara. Nilai itu guna menjamin harkat, martabat dan kehormatan kemanusiaan yang ada pada setiap individu, yang wajib diperhatikan dan dilaksanakan oleh penyelenggara negara.

Tanggung Jawab Negara
Negara memiliki kewajiban mensejahterakan rakyatnya, dengan mengeluarkan kebijakan yang dapat meningkatkan taraf hidupnya pada kondisi yang adil. Kesejahteraan rakyat itu ditempuh dengan melakukan terobosan yang strategis yang sekali lagi tidak mengorbankan kepentingan orang-orang kecil dan berpihak pada orang bermodal. Negara wajib menjamin tempat tinggal setiap warganya dengan memberikan perlindungan hukum, demi terselenggaranya pemerintahan yang kuat dan dicintai rakyat.

Penggusuran yang tidak ada pertanggung-jawaban rasionalnya merupakan perbuatan yang tidak berperikemanusiaan yang harus dihentikan. Yang harus di tempuh dalam penyelesaian persolan ini adalah lebih mendahulukan kondisi atau keadaan fakir miskin dalam hal perbaikan kondisi kehidupan mereka dengan mengeluarkan kebijakan yang berpihak kepada fakir miskin. Kebijakan yang dapat memberi ruang pada mereka itu dalam pengembangan potensi kreatifitasnya guna meningkatkan taraf hidupnya. Sehingga perlu ada peninjauan ulang terhadap peraturan-peraturan perundangan yang secara negatif mempengaruhi kepemilikan terhadap perumahan/ tempat tinggal.

Serta perlu adanya kontrol sosial dari masyarakat sipil secara menyeluruh kepada penyelenggara negara dalam pelaksanaan konstitusi negara. Dalam membuat aturan perundang-undangan tetap tidak bertentangan dengan asas yang lebih tinggi derajatnya. Begitu pula dari segi praksis dilapangan tetap ada kontrol yang selalu harus mengawasi jalannya pemerintahan berhubungan dengan pelaksanaan konstitusi negara atau peraturan perundang-undangan.

selengkapnya

Modified by Blogger Tutorial

LEMBAGA BANTUAN HUKUM SULAWESI TENGAH ©Template Nice Blue. Modified by Indian Monsters. Original created by http://ourblogtemplates.com Blogger Styles

TOP