Selasa, 31 Maret 2009

HUKUM PROGRESIF, SOLUSI DITENGAH TRANSISI DEMOKRASI DI INDONESIA

Oleh : Muh Irsyad Thamrin, SH
(Ketua Serikat Pekerja Hukum Progresif (SPHP) dan pekerja bantuan hukum di LBH Yogyakarta)

Runtuhnya Orde Baru yang menganut paradigma hukum yang represif pada tahun 1998 yang digantikan oleh Orde Reformasi, ternyata belum membawa perbaikan terhadap kualitas penegakan hukum. Justru lebih parah lagi dengan banyak bermunculan kasus-kasus pelanggaran HAM, korupsi yang semakin mewabah, dan munculnya beragam peraturan perundang-undangan yang dianggap tidak mencerminkan kepentingan masyarakat. Sebut saja lahirnya Perpres 36 tahun 2005 tentang Pengadaan tanah untuk kepentingan umum, yang berpotensi menjadi legitimasi pemerintah untuk melakukan penggusuran, UU No 13 tentang ketenagakerjaan dan UU PPHI, yang banyak melahirkan penolakan dari kalangan buruh karena dinilai lebih berpihak kepada pemilik modal, dan lain sebagainya.

Di pihak lain penegakan hukum terhadap kasus-kasus besar seperti kasus korupsi akbar tanjung, kasus pencemaran nama baik oleh majalah Tempo, kasus-kasus konflik agraria, sengketa perburuhan dan lain-lain masih sangat jauh dari rasa keadilan. Hal ini mencerminkan bahawa perilaku-perilaku para aktor dunia peradilan yang masih belum bisa bersikap adil, bahkan less authoritativeness ketika menghadapi pihak yang memiliki relasi dengan kekuasaan di satu pihak dan more authoritativeness ketika berhadapan dengan masyarakat kecil.

Hal ini menyebabkan kerisauan dan sikap apriori terhadap “orde hukum” yang belum mampu menjawab dan menjelaskan berbagai problem ketidakadilan. Realitas itu menandai supremasi hukum dan persamaan di hadapan hukum (equality before the law) ibarat masih menjadi impian bagi rakyat. Peradilan yang independen dan tidak memihak (fair tribunal and independence of judiciary) sebagai salah satu prasyarat bagi suatu negara hukum (rule of law) hanya menjadi jargon di dalam ruang kuliah ataupun diskusi. Di pihak lain, sebagai dampak dari globalisasi, Advokat/Pengacara yang sering disebut sebagai “profesi mulia” (officum nobile) karena profesi ini tidak hanya sekedar mencari nafkah saja melainkan didalamnya terdapat idealisme (nilai keadilan/kebenaran) mulai terpuruk dan beralih sebagai penjual jasa hukum kepada yang memiliki modal.

Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, maka salah satu penyebab bobroknya sistem hukum ini adalah masih dianutnya paradigma hukum yang liberal oleh sebagian besar aparat hukum/profesi hukum dengan berlindung pada bunyi undang undang (positivistis), sehingga membentuk kesadaran hukum yang formalisistis. Sehingga kesadaran hukum yang formalistis inilah yang selama ini telah menjebak kita pada kepuasan terdistribusinya keadilan formal, kendati harus menyingkirkan, bahkan bertentangan dengan keadilan substansial. Padahal kolusi yang terjadi dalam proses-proses bekerjanya hukum nyaris selalu dibingkai dalam proses-proses hukum yang formalistis. Sehingga, kolusi atau “jual-beli keadilan” sangat sulit dibuktikan, kendati praktik-praktik kotor itu nyata-nyata terjadi. Hal ini tercermin dalam dimenangkannya kasasi Akbar Tanjung dalam kasus korupsi, yang jelas-jelas melukai rasa keadilan di dalam masyarakat, beberapa inteleketual hukum hanya mengatakan “bahwa apa daya hukum formil harus ditegakkan”.

Berdasarkan hal tersebut di atas maka sebenarnya membuktikan bahwa hukum modern (baca : hukum barat) yang membawa paradigma liberal yang dijargonkan merupakan system hukum paling maju ternyata tidak sesuai dengan kenyataan dalam masyarakat Indonesia dimana sebagian besar masyarakat Indonesia justru termarginalkan hak-hak ekosobnya (hak ekonomi, social budaya). Kita ketahui hukum modern ini memang bukan berasal dari dalam masyarakat Indonesia, melainkan ditanamkan dari luar yang merupakan produk social, ekonomi dan kultur barat. Atau dengan kata lain hukum modern yang bertipe liberal merupakan cerminan dari basis struktur ekonomi kapitalis. Hukum liberal pada prinsipnya dibuat untuk menjadi instrumen pengaman kelangsungan tatanan social-politik dan ekonomi masyarakat liberal (baca : kapitalis), yang menempatkan kebebasan individu sebagai nilai yang prinsipil. Hal ini sesuai dengan analisis Karl Marx menggunakan pendekatan kesejarahan dari sudut pandang ekonomi (materialisme historis), dimana hukum tidak lebih dari sebuah instrumen untuk melindungi dan menjamin kepentingan kelas yang berkuasa (kapitalis) di satu pihak, dan memeras serta menindas kelas pekerja (proletar) di pihak lain.

Untuk itu lahirnya hukum progresif merupakan antitesis dari realitas hukum saat ini, dimana diperlukan keberanian dan komitmen untuk melakukan pembangunan orde hukum yang responsif (termasuk meningkatkan kualitas penegakan hukum) dengan melakukan perbaikan di berbagai sektor hukum, baik itu dari segi sistem hukumnya sendiri, aparatur penegak hukum, maupun segi pendidikan/kurikulum hukum . Menurut Sacipto Rahardjo, system liberal melihat bahwa konsep kesamaan (equality) didasarkan kepada individu sebagai unit (individual equality), maka hukum progresif adalah kebalikan dari system hukum liberal, dimana hukum progresif menawarkan konsep kesamaan didasarkan kepada kolektiva atau kebersamaan (group-related equality). Dengan kata lain hukum progresif bertujuan untuk menggunakan hukum bagi kepentingan rakyat di atas kepentingan individu. Di dalam pandangan hukum progresif hukum dilihat sebagai instrumen untuk melayani kepentingan rakyat, maka apabila rakyat menghadapi persoalan hukum yang berdimensi structural, bukan rakyat yang dipersalahkan, melainkan kita harus mengkaji asas, doktrin ataupun peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Di era transisi ini banyak melahirkan masalah-masalah dan problem social sehingga angka kejahatan maupun konflik tumbuh dengan cepat dalam masyarakat. Belum lagi sengketa-sengketa kepentingan antar individu atau kelompok, ataupun masyarakat dengan Negara/pemodal. Lantas bagaimana perspektif hukum progresif harus mengatasinya ditengah teori-teori hukum (baca hukum liberal) yang cukup njlimet ini. Dalam pandangan Hukum progresif secara sederhana dapat diuraikan bahawa apabila suatu hukum/peraturan justru tidak menguntungkan kolektiv didalam masyarakat, maka hukum tersebut harus diterabas atau dengan kata lain hukum tersebut harus segera dilakukan perubahan baik dari segi asas, doktrin maupun aturannya, sedangkan apabila hukum tersebut menguntungkan sebagian besar mayoritas masyarakat, maka hukum tersebut dipakai sebagai legitimasi untuk menegakkan hak-hak dan kedaulatan masyarakat tersebut.

Barangkali dibenak para pembaca muncul pertanyaan apakah relevan hukum progresif ini diterapkan ? Adakah teori-teori hukumnya yang spesifik (atau hanya jargon belaka)? Tentunya dari pertanyaan ini akan melahirkan perdebatan yang sengit di antara para pemikir-pemikir/intelektual hukum. Namun bagi para pekerja hukum yang sehari-harinya selalu bersentuhan dengan masyarakat marginal cukup menjelaskan bahwa hukum progresif adalah kunci pembebasan, dimana hukum progresif menolak klaim para inteleketual liberal yang merasa hanya dirinya yang memiliki otoritas membuat teori-teori hukum/doktrin dimana masyarakat dipaksa dimasukkan dalam skema teori hukum yang berlaku, sehingga hukum haruslah mutlak dilaksanakan, walaupun mengindahkan rasa keadilan dalam masyarakat. Hukum progresif berpendapat bahwa setiap pikiran, pendapat, doktrin, asas hukum sangat terbuka untuk ditinjau, untuk itu setiap pekerja hukum juga merupakan seorang intelektual hukum progresif, yang harus menteorikan segala sesuatu yang menjadi polemik hukum dalam masyarakat menjadi sesuatu yang mudah dicerna dan diaplikasikan.

Namun sekelumit dari uraian tersebut di atas, bertitik tolak dari belum beralihnya orde hukum yang dianut Negara ke arah responsive, hanya ada satu pertanyaan yang muncul dibenak penulis, yakni “apakah kita mau dan berani mengaktualisasikan diri kita dengan menggunakan paradigma hukum progresif untuk melakukan pembebasan di tengah penindasan dan diskriminasi antar sesama manusia ?”

0 komentar:

Posting Komentar

Modified by Blogger Tutorial

LEMBAGA BANTUAN HUKUM SULAWESI TENGAH ©Template Nice Blue. Modified by Indian Monsters. Original created by http://ourblogtemplates.com Blogger Styles

TOP